Sehubungan dengan telah diterbitkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Maka bersama ini kami perlu melakukan sosialisasi atas draft/ rancangan Qanun tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan. Perlu kami informasikan bahwa yang dimaksud qanun adalah sama dengan peraturan daerah. Di Aceh Disebut qanun. Mohon Saran dan Masukannya.
RANCANGAN
QANUN KABUPATEN ACEH TIMUR
NOMOR ……TAHUN 2011
TENTANG
PAJAK HOTEL
BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
BUPATI ACEH TIMUR,
Menimbang : a. bahwa dengan telah ditetapkannya Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, maka ketentuan yang mengatur mengenai Pajak Hotel sebagaimana diatur dengan Peraturan Daerah Tingkat II Aceh Timur Nomor 5 Tahun 1998 tentang Pajak Hotel dan Restoran perlu disesuaikan;
b. bahwa untuk maksud tersebut huruf a diatas, perlu menetapkan Qanun Kabupaten Aceh Timur tentang Pajak Hotel;
Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 7 Drt Tahun 1956 tentang Pembentukan Daerah Otonom Kabupaten-Kabupaten Dalam Lingkungan Daerah Propinsi Sumatera Utara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1956 Nomor 58, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 1092);
2. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209);
3. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3236) sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 85, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4740);
4. Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1997 tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 42, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 368) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2000 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 129, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3987);
5. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 27, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4180);
6. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 47, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4286);
7. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 5, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4355);
8. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 53, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4389);
9. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan dan Pengelolaan Keuangan Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4400);
10. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4844);
11. Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 126, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4438 );
12. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 62, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4633);
13. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 11, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4966);
14. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 130, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5049);
15. Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 36, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3258);
16. Peraturan Pemerintah Nomor 67 Tahun 1996 tentang Kepariwisataan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1996 Nomor 101, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3658);
17. Peraturan Pemerintah Nomor 135 Tahun 2000 tentang Tata Cara Penyitaan Dalam Rangka Penagihan Pajak dengan Surat Paksa (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 247, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4049);
18. Peraturan Pemerintah Nomor 136 Tahun 2000 tentang Tata Cara Penjualan Barang Sitaan yang Dikecualikan dari Penjualan Secara Lelang Dalam Rangka Penagihan Pajak dengan Surat Paksa (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 248, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4050);
19. Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 140, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4578);
20. Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2005 tentang Pedoman Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 165, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4593);
21. Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/ Kota (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4737);
22. Peraturan Presiden Nomor 1 Tahun 2007 tentang Pengesahan, Pengundangan dan Penyebarluasan Peraturan Perundang-undangan;
23. Qanun Aceh Nomor 3 Tahun 2007 tentang Tata Cara Pembentukan Qanun (Lembaran Daerah Nanggroe Aceh Darussalam Tahun 2007 Nomor 03, Tambahan Lembaran Daerah Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 03).
24. Qanun Kabupaten Aceh Timur Nomor 2 Tahun 2008 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Dinas-Dinas Kabupaten Aceh Timur (Lembaran Daerah Kabupaten Aceh Timur Tahun 2008 Nomor 2, Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Aceh Timur Nomor 8).
Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT KABUPATEN ACEH TIMUR
dan
BUPATI ACEH TIMUR
MEMUTUSKAN :
Menetapkan : QANUN KABUPATEN ACEH TIMUR TENTANG PAJAK HOTEL.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Qanun ini yang dimaksud dengan :
1. Daerah adalah Kabupaten Aceh Timur.
2. Pemerintah Kabupaten adalah Bupati dan perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah.
3. Kepala Daerah yang selanjutnya disebut Bupati adalah Bupati Aceh Timur.
4. Pejabat adalah pegawai yang diberi tugas tertentu di bidang perpajakan daerah dan/atau retribusi daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
5. Hotel adalah fasilitas penyedia jasa penginapan/ peristirahatan termasuk jasa terkait lainnya dengan dipungut bayaran, yang mencakup juga motel, losmen, gubug pariwisata, wisma pariwisata, pesanggrahan, rumah penginapan dan sejenisnya, serta rumah kos dengan jumlah kamar lebih dari 10 (sepuluh).
6. Pajak daerah adalah kontribusi wajib kepada daerah yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan daerah bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
7. Pajak Hotel yang selanjutnya disebut pajak adalah pajak daerah atas pelayanan yang disediakan oleh hotel.
8. Subyek pajak adalah orang pribadi atau badan yang dapat dikenakan pajak.
9. Wajib pajak adalah orang pribadi atau badan, meliputi pembayar pajak, pemotong pajak, dan pemungut pajak yang mempunyai hak dan kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan daerah.
10. Badan adalah sekumpulan orang dan / atau modal yang merupakan kesatuan, baik yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, Badan Usaha Milik Negara atau Daerah dengan nama dan dalam bentuk apapun, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi sosial politik, atau organisasi lainnya, lembaga dan bentuk badan lainnya termasuk kontrak investasi kolektif dan bentuk usaha tetap.
11. Masa pajak adalah jangka waktu 1 (satu) bulan kalender, kecuali bila wajib pajak menggunakan tahun buku yang tidak sama dengan tahun kalender.
12. Pajak yang terutang adalah pajak yang harus dibayar pada suatu saat, dalam masa pajak, dalam tahun pajak, atau bagian tahun pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
13. Pemungutan adalah suatu rangkaian kegiatan mulai dari penghimpunan data obyek dan subyek pajak, penentuan besarnya pajak yang terutang sampai kegiatan penagihan pajak kepada wajib pajak serta pengawasan penyetorannya.
14. Surat Pemberitahuan Pajak Daerah yang selanjutnya disingkat SPTPD adalah surat yang oleh wajib pajak digunakan untuk melaporkan perhitungan dan/atau pembayaran pajak, obyek pajak dan/atau bukan obyek pajak, dan/atau harta dan kewajiban, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan daerah.
15. Surat Setoran Pajak Daerah yang selanjutnya disingkat SSPD adalah bukti pembayaran atau penyetoran pajak yang telah dilakukan dengan menggunakan formulir atau telah dilakukan dengan cara lain ke kas daerah melalui tempat pembayaran yang ditunjuk oleh Bupati.
16. Nota Pajak adalah dasar perhitungan besarnya pajak yang terutang yang harus dibayar oleh wajib pajak.
17. Surat Ketetapan Pajak Daerah yang selanjutnya disingkat SKPD adalah surat ketetapan pajak yang menentukan besarnya jumlah pokok pajak yang terutang;
18. Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar yang selanjutnya disingkat SKPDKB adalah surat ketetapan pajak yang menentukan besarnya jumlah pokok pajak, jumlah kredit pajak, jumlah kekurangan pembayaran pokok pajak, besarnya sanksi administrasi, dan jumlah pajak yang masih harus dibayar;
19. Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar Tambahan yang selanjutnya disingkat SKPDKBT adalah surat ketetapan pajak yang menentukan tambahan atas jumlah pajak yang telah ditetapkan.
20. Surat Ketetapan Pajak Daerah Lebih Bayar yang selanjutnya disingkat SKPDLB adalah surat ketetapan pajak yang menentukan jumlah kelebihan pembayaran pajak karena jumlah kredit pajak lebih besar dari pajak terutang atau seharusnya tidak terutang;
21. Surat Ketetapan Pajak Daerah Nihil yang selanjutnya disingkat SKPDN adalah surat ketetapan pajak yang menentukan jumlah pokok pajak sama besarnya dengan jumlah kredit pajak atau pajak tidak terutang, dan tidak ada kredit pajak;
22. Surat Tagihan Pajak Daerah yang selanjutnya disingkat STPD adalah surat untuk melakukan tagihan pajak dan/ atau sanksi administrasi berupa bunga dan/ atau denda;
23. Surat Keputusan Pembetulan adalah surat keputusan yang membetulkan kesalahan tulis, kesalahan hitung, dan/atau kekeliruan dalam penerapan ketentuan tertentu dalam peraturan perundang-undangan perpajakan daerah yang terdapat dalam SKPD, SKPDKB, SKPDKBT, SKPDN, SKPDLB, STPD, Surat Keputusan Pembetulan atau Surat Keputusan Keberatan;
24. Surat Keputusan Keberatan adalah surat keputusan atas keberatan yang diajukan oleh wajib Pajak terhadap SKPD atau dokumen lain yang dipersamakan.
25. Surat Keputusan Keberatan adalah surat keputusan atas keberatan terhadap SKPD, SKPDKB, SKPDKBT, SKPDN, SKPDLB, STPD atau terhadap pemotongan atau pemungutan pihak ketiga yang diajukan oleh wajib pajak;
26. Putusan Banding adalah putusan badan peradilan pajak atas banding terhadap surat Keputusan Keberatan yang diajukan oleh wajib pajak.
27. Pembukuan adalah suatu proses pencatatan yang dilakukan secara teratur untuk mengumpulkan data informasi keuangan yang meliputi harta, kewajiban, modal, penghasilan dan biaya, serta jumlah harga perolehan dan penyerahan barang atau jasa, yang ditutup dengan menyusun laporan keuangan berupa neraca dan laporan laba rugi untuk periode tahun pajak tersebut.
28. Pemeriksaan adalah serangkaian kegiatan menghimpun dan mengolah data, keterangan dan/ atau bukti yang dilaksanakan secara objektif dan profesional berdasarkan suatu standar pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan daerah dan/ atau untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan daerah.
29. Penyidikan Pidana dibidang Perpajakan Daerah adalah serangkaian tindakan yang dilakukan oleh Penyidik untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tindak pidana dibidang perpajakan daerah yang terjadi serta menemukan tersangkanya.
B A B II
NAMA, OBYEK, SUBYEK DAN WAJIB PAJAK
Pasal 2
Nama Pajak adalah Pajak Hotel.
Pasal 3
(1) Obyek Pajak adalah pelayanan yang disediakan oleh hotel dengan pembayaran, termasuk jasa penunjang sebagai kelengkapan hotel yang sifatnya memberikan kemudahan dan kenyamanan, termasuk fasilitas olah raga dan hiburan.
(2) Jasa penunjang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah fasilitas telepon, faksimile, teleks, internet, fotocopi, pelayanan cuci, setrika, transportasi, dan fasilitas sejenis lainnya yang disediakan atau dikelola oleh hotel.
(3) Tidak termasuk obyek pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah :
a. jasa tempat tinggal asrama yang diselenggarakan oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah;
b. jasa sewa apartemen, kondominium dan sejenisnya;
c. jasa tempat tinggal di pusat pendidikan atau kegiatan keagamaan;
d. jasa tempat tinggal rumah sakit, asrama perawat, panti jompo, panti asuhan, dan panti sosial lainnya yang sejenis; dan
e. jasa biro perjalanan atau perjalanan wisata yang diselenggarakan oleh hotel yang dapat dimanfaatkan oleh umum.
Pasal 4
Subyek pajak adalah orang pribadi atau badan yang melakukan pembayaran kepada orang pribadi atau badan yang mengusahakan hotel.
Pasal 5
Wajib pajak adalah orang pribadi atau badan yang mengusahakan hotel.
BAB III
DASAR PENGENAAN, TARIF DAN CARA PENGHITUNGAN PAJAK
Pasal 6
Dasar pengenaan pajak adalah jumlah pembayaran yang diterima atau seharusnya dibayarkan kepada hotel.
Pasal 7
Tarif pajak ditetapkan sebesar 10% (sepuluh persen).
Pasal 8
Besaran pokok Pajak Hotel yang terutang dihitung dengan mengalikan tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 dengan dasar pengenaan pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6.
BAB IV
WILAYAH PEMUNGUTAN
Pasal 9
Pajak yang terutang dipungut di wilayah daerah tempat hotel berlokasi.
BAB V
MASA PAJAK, SAAT PAJAK TERUTANG DAN
SURAT PEMBERITAHUAN PAJAK DAERAH
Pasal 10
Masa pajak adalah jangka waktu yang lamanya sama dengan 1 (satu) bulan takwim atau jangka waktu yang lamanya ditetapkan dengan Keputusan Bupati.
Pasal 11
Pajak terutang dalam masa pajak terjadi pada saat pelayanan di hotel.
Pasal 12
(1) Setiap wajib pajak wajib mengisi SPTPD.
(2) SPTPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib diisi dengan jelas, benar dan lengkap serta ditanda tangani oleh wajib pajak atau kuasanya.
(3) SPTPD sebagaiamana dimaksud pada ayat (1) wajib disampaikan kepada Bupati paling lama 15 (lima belas) hari setelah berakhirnya masa pajak.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai bentuk, isi, dan tata cara pengisian SPTPD diatur dengan Peraturan Bupati.
BAB VI
PENETAPAN PAJAK
Pasal 13
(1) Berdasarkan SPTPD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1), Bupati menetapkan pajak terutang dengan menerbitkan SKPD.
(2) Apabila SKPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak atau kurang dibayar setelah lewat waktu paling lama 30 (tiga) puluh hari sejak SKPD diterima, dikenakan sanksi administrasi berupa denda sebesar 2% (dua persen) setiap bulan dan ditagih dengan menggunakan STPD.
BAB VII
TATA CARA PEMUNGUTAN
Pasal 14
(1) Pemungutan pajak dilarang diborongkan.
(2) Setiap wajib pajak harus membayar pajak yang terutang berdasarkan surat ketetapan pajak atau dibayar sendiri oleh wajib pajak berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(3) Wajib pajak yang memenuhi kewajiban perpajakan berdasarkan penetapan Bupati dibayar dengan menggunakan SKPD atau dokumen lain yang dipersamakan.
(4) Dokumen lain yang dipersamakan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat berupa karcis dan nota perhitungan.
(5) Wajib pajak yang memenuhi kewajiban perpajakan sendiri dibayar dengan menggunakan SKPDKB dan/atau SKPDBT.
(6) Hasil pungutan retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disetor ke Kas Daerah secara bruto.
Pasal 15
(1) Dalam jangka waktu 5 (lima) tahun sesudah saat terutangnya pajak, Bupati dapat menerbitkan :
a. SKPDKB, jika berdasarkan hasil pemeriksaan atau keterangan lain, pajak terutang tidak atau kurang bayar;
b. SKPDKBT, jika ditemukan data baru dan/atau data yang semula tidak terungkap yang menyebabkan penambahan jumlah pajak yang terutang; atau
c. SKPDN, jika jumlah pajak yang terutang sama besarnya dengan jumlah kredit pajak atau pajak yang tidak terutang dan tidak ada kredit pajak.
(2) Jumlah kekurangan pajak terutang dalam SKPDKB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dikenakan sanksi administratif berupa bunga sebesar 2% (dua persen) sebulan dihitung dari pajak kurang atau terlambat dibayar untuk jangka waktu paling lama 24 (dua puluh empat) bulan dihitung sejak saat terutangnya pajak.
(3) Jumlah kekurangan pajak yang terutang dalam SKPDKBT sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dikenakan sanksi administratif berupa kenaikan sebesar 100% (seratus persen) dari jumlah kekurangan pajak tersebut.
(4) Kenaikan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak dikenakan jika wajib pajak melaporkan sendiri sebelum dilakukan tindakan pemeriksaan.
Pasal 16
Ketentuan mengenai tata cara penerbitan dan pengisian SKPD atau dokumen lain yang dipersamakan, SKPDKB, dan SKPDKBT diatur dengan Peraturan Bupati.
BAB VIII
SURAT TAGIHAN PAJAK
Pasal 17
(1) Bupati dapat menerbitkan STPD jika :
a. pajak dalam tahun berjalan tidak atau kurang dibayar; atau
b. wajib pajak dikenakan sanksi administratif berupa bunga dan/atau denda.
(2) Jumlah kekurangan pajak yang terutang dalam STPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a ditambah dengan sanksi administratif berupa ditambah dengan bunga sebesar 2% (dua persen) setiap bulan untuk paling lama 15 (lima belas) bulan sejak saat terutangnya pajak.
(3) SKPD yang tidak atau kurang bayar setelah jatuh tempo pembayaran dikenakan sanksi administratif berupa bunga sebesar 2% (dua persen) sebulan dan ditagih melalui STPD.
BAB IX
TATA CARA PEMBAYARAN DAN PENAGIHAN
Pasal 18
(1) Bupati menentukan tanggal jatuh tempo pembayaran dan penyetoran pajak yang terutang paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja setelah saat terutangnya pajak dan paling lama 6 (enam) bulan sejak tanggal diterimanya SPPT oleh wajib pajak.
(2) SPPT, SKPD, SKPDKB, SKPDKBT, STPD, Surat pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, dan Putusan Banding, yang menyebabkan jumlah pajak yang harus dibayar bertambah merupakan dasar penagihan pajak dan harus dilunasi dalam jangka waktu paling lama 1 (satu) bulan sejak tanggal diterbitkan.
(3) Bupati atas permohonan wajib pajak setelah memenuhi persyaratan yang ditentukan dapat memberikan persetujuan kepada Wajib Pajak untuk mengangsur atau menunda pembayaran pajak, dengan dikenakan bunga sebesar 2% (dua persen) sebulan.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembayaran, penyetoran, tempat pembayaran, angsuran dan penundaan pembayaran pajak diatur dengan Peraturan Bupati.
Pasal 19
(1) Pajak yang terutang berdasarkan SKPD, SKPDKB, SKPDKBT, STPD, Surat Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, dan Putusan Banding yang tidak atau kurang dibayar oleh wajib pajak pada waktunya dapat ditagih dengan surat paksa.
(2) Penagihan pajak dengan surat paksa dilaksanakan berdasarkan peraturan perundang-undangan.
BAB X
PENGURANGAN, KERINGANAN DAN PEMBEBASAN PAJAK
Pasal 20
(1) Bupati atas permohonan wajib pajak setelah memenuhi persyaratan yang ditentukan dapat memberikan persetujuan kepada Wajib Pajak untuk dapat memberikan pengurangan, keringanan dan pembebasan pajak.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengurangan, keringanan dan pembebasan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Bupati.
BAB XI
KEBERATAN DAN BANDING
Pasal 21
(1) Wajib pajak dapat mengajukan keberatan hanya kepada Bupati atau Pejabat yang ditunjuk atas suatu :
a. SKPD;
b. SKPDKB;
c. SKPDKBT;
d. SKPDLB;
e. SKPDN; dan
f. pemotongan atau pemungutan oleh pihak ketiga berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(2) Keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan secara tertulis dalam Bahasa Indonesia dengan disertai alasan-alasan yang jelas.
(3) Keberatan harus diajukan dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) bulan sejak tanggal surat, tanggal pemotongan atau pemungutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), kecuali jika wajib pajak dapat menunjukkan bahwa jangka waktu itu tidak dapat dipenuhi karena keadaan di luar kekuasaannya.
(4) Keberatan dapat diajukan apabila wajib pajak telah membayar paling sedikit sejumlah yang telah disetujui wajib pajak.
(5) Keberatan yang tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3) dan ayat (4) tidak dianggap sebagai Surat Keberatan sehingga tidak dapat dipertimbangkan.
(6) Tanda penerimaan surat keberatan yang diberikan oleh Bupati atau pejabat yang ditunjuk atau tanda pengiriman surat keberatan melalui pos tercatat sebagai tanda bukti penerimaan surat keberatan.
Pasal 22
(1) Bupati dalam jangka waktu paling lama 12 (dua belas) bulan sejak tanggal keberatan diterima, harus memberi keputusan atas keberatan yang diajukan.
(2) Keputusan Bupati atas keberatan dapat berupa menerima seluruhnya atau sebagian, menolak, atau menambah besarnya pajak terutang.
(3) Apabila jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) telah lewat dan Bupati tidak memberi suatu keputusan, keberatan yang diajukan tersebut dianggap dikabulkan.
Pasal 23
(1) Wajib pajak dapat mengajukan permohonan banding hanya kepada Pengadilan Pajak terhadap keputusan mengenai keberatannya yang telah ditetapkan oleh Bupati.
(2) Permohonan banding sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia, dengan alasan yang jelas dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan sejak keputusan diterima, dilampiri salinan dari surat keputusan keberatan tersebut.
(3) Pengajuan permohonan banding menangguhkan kewajiban membayar pajak sampai dengan 1 (satu) bulan sejak tanggal penerbitan Putusan Banding.
Pasal 24
(1) Jika pengajukan keberatan atau permohonan banding dikabulkan sebagian atau seluruhnya, kelebihan pembayaran pajak dikembalikan dengan ditambah imbalan bunga sebesar 2% (dua persen) sebulan untuk paling lama 12 (dua belas) bulan.
(2) Imbalan bunga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung sejak bulan pelunasan sampai denan diterbitkannya SKPDLB.
(3) Dalam hal keberatan wajib pajak ditolak atau dikabulkan sebagian, maka wajib pajak dikenai sanksi administratif berupa denda sebesar 50% (lima puluh persen) dari jumlah pajak berdasarkan keputusan keberatan dikurangi dengan pembayaran pajak yang telah dibayar sebelum mengajukan keberatan.
(4) Dalam hal wajib pajak mengajukan permohonan banding, sanksi administratif berupa denda sebesar 50% (lima puluh persen) sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak dikenakan.
(5) Dalam hal permohonan banding ditolak atau dikabulkan sebagian, maka wajib pajak dikenai sanksi administratif berupa denda sebesar 100% (seratus persen) dari jumlah pajak berdasarkan Putusan Banding dikurangi dengan pembayaran pajak yang telah dibayar sebelum mengajukan keberatan.
BAB XII
PEMBETULAN, PEMBATALAN, PENGURANGAN KETETAPAN DAN PENGHAPUSAN ATAU PENGURANGAN SANKSI ADMINISTRASI
Pasal 25
(1) Atas permohonan wajib pajak atau karena jabatannya, Bupati dapat membetulkan SKPD, SKPDKB, SKPDKBT, STPD, SKPDN, atau SKPDLB yang dalam penerbitannya terdapat kesalahan tulis dan/atau kesalahan hitung dan/atau kekeliruan dalam penerapan ketentuan tertentu dalam peraturan perundang-undangan perpajakan.
(2) Bupati dapat :
a. mengurangkan atau menghapuskan sanksi administratif berupa bunga, denda, dan kenaikan pajak yang terutang menurut peraturan perundang-undangan perpajakan daerah;
b. mengurangkan atau membatalkan SKPD, SKPDKB, SKPDKBT, STPD, SKPDN, atau SKPDLB yang tidak benar;
c. mengurangkan atau membatalkan STPD;
d. membatalkan hasil pemeriksaan atau ketetapan pajak yang dilaksanakan atau diterbitkan tidak sesuai dengan tata cara yang ditentukan; dan
e. mengurangkan ketetapan pajak terutang berdasarkan pertimbangan kemampuan membayar wajib pajak atau kondisi tertentu obyek pajak.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengurangan atau penghapusan sanksi administratif dan pengurangan atau pembatalan ketetapan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Bupati.
BAB XIII
PENGEMBALIAN KELEBIHAN PEMBAYARAN PAJAK
Pasal 26
(1) Atas kelebihan pembayaran pajak, wajib pajak dapat mengajukan permohonan pengembalian kepada Bupati.
(2) Bupati dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, sejak diterimanya permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memberikan keputusan.
(3) Apabila jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) telah lewat dan Bupati tidak memberi suatu keputusan, maka permohonan pengembalian dianggap dikabulkan dan SKPDLB harus diterbitkan dalam jangka waktu 1 (satu) bulan.
(4) Apabila wajib pajak mempunyai utang pajak, kelebihan pembayaran pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) langsung diperhitungkan untuk melunasi terlebih dahulu utang pajak tersebut.
(5) Pengembalian kelebihan pembayaran pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) bulan sejak diterbitkannya SKPDLB.
(6) Jika pengembalian kelebihan pembayaran retribusi dilakukan setelah lewat 2 (dua) bulan, Bupati memberikan imbalan bunga sebesar 2% (dua persen) sebulan atas keterlambatan pembayaran kelebihan pembayaran pajak.
(7) Ketentuan mengenai tata cara pengembalian kelebihan pembayaran pajak diatur dengan Peraturan Bupati.
BAB XIV
KADALUWARSA PENAGIHAN
Pasal 27
(1) Hak untuk melakukan penagihan pajak menjadi kadaluwarsa setelah melampaui jangka waktu 5 (lima) tahun terhitung sejak saat terutangnya pajak, kecuali apabila Wajib Pajak melakukan tindak pidana di bidang perpajakan daerah.
(2) Kadaluwarsa penagihan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tertangguh apabila :
a. diterbitkan surat teguran dan/atau surat paksa; atau
b. ada pengakuan utang pajak dari Wajib Pajak baik langsung maupun tidak langsung.
(3) Dalam hal diterbitkan surat teguran dan/atau surat paksa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a kedaluwarsa penagihan dihitung sejak tanggal penyampaian Surat Paksa tersebut.
(4) Pengakuan secara langsung sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b adalah Wajib Pajak dengan kesadarannya menyatakan masih mempunyai utang Pajak dan belum melunasinya kepada Pemerintah Daerah.
(5) Pengakuan secara tidak langsung sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b dapat diketahui dari pengajuan permohonan angsuran atau penundaan pembayaran dan permohonan keberatan dari Wajib Pajak.
BAB XV
TATA CARA PENGHAPUSAN PIUTANG RETRIBUSI YANG KADALUWARSA
Pasal 28
(1) Piutang pajak yang tidak mungkin ditagih lagi karena hak untuk melakukan penagihan sudah kadaluwarsa dapat dihapuskan.
(1) Bupati menetapkan Keputusan Penghapusan Piutang Pajak Daerah yang sudah kadaluwarsa sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(2) Ketentuan mengenai tata cara penghapusan piutang pajak yang sudah kadaluwarsa diatur dengan Peraturan Bupati.
BAB XVI
PEMBUKUAN DAN PEMERIKSAAN
Pasal 29
(1) Wajib Pajak yang melakukan usaha dengan omzet paling sedikit Rp.300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) per tahun wajib menyelenggarakan pembukuan dan pencatatan.
(2) Kriteria wajib pajak dan penentuan besaran omzet serta tata cara pembukuan atau pencatatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Bupati.
Pasal 30
(1) Bupati berwenang melakukan pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan daerah dalam rangka melaksanakan peraturan perundang-undangan perpajakan daerah.
(2) Wajib pajak yang diperiksa wajib :
a. memperlihatkan dan/atau meminjamkan buku atau catatan, dokumen yang menjadi dasarnya dan dokumen lain yang berhubungan dengan obyek pajak yang terutang;
b. memberikan kesempatan untuk memasuki tempat atau ruangan yang dianggap perlu dan memberikan bantuan guna kelancaran pemeriksaan; dan/atau
c. memberikan keterangan yang diperlukan.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemeriksaan pajak diatur dengan Peraturan Bupati.
BAB XVII
P E N Y I D I K A N
Pasal 31
(1) Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu di lingkungan Pemerintah Daerah diberi wewenang khusus sebagai Penyidik untuk melakukan penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan daerah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Hukum Acara Pidana.
(2) Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu di lingkungan Pemerintah Daerah yang diangkat oleh pejabat yang berwenang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(3) Wewenang Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1), adalah:
a. menerima, mencari, mengumpulkan dan meneliti keterangan atau laporan berkenaan dengan tindak pidana di bidang perpajakan daerah agar keterangan atau laporan tersebut menjadi lebih lengkap dan jelas;
b. meneliti, mencari dan mengumpulkan keterangan mengenai orang pribadi atau badan tentang kebenaran perbuatan yang dilakukan sehubungan dengan tindak pidana perpajakan daerah;
c. meminta keterangan dan barang bukti dari orang pribadi atau badan sehubungan dengan tindak pidana di bidang perpajakan daerah;
d. memeriksa buku, catatan dan dokumen lain berkenaan dengan tindak pidana di bidang perpajakan daerah;
e. melakukan penggeledahan untuk mendapatkan barang bukti pembukuan, pencatatan dan dokumen lain serta melakukan penyitaan terhadap barang bukti tersebut;
f. meminta bantuan tenaga ahli dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan daerah;
g. menyuruh berhenti dan/atau melarang seseorang meninggalkan ruangan atau tempat pada saat pemeriksaan berlangsung dan memeriksa identitas orang, benda dan / atau dokumen yang dibawa;
h. memotret seseorang berkaitan dengan tindak pidana di bidang perpajakan daerah;
i. memanggil seseorang untuk didengar keterangannya dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi;
j. menghentikan penyidikan; dan/atau
k. melakukan tindakan lain yang perlu untuk kelancaran penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(4) Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1), memberitahukan dimulainya penyidikan dan menyampaikan hasil penyidikannya kepada Penuntut Umum melalui penyidik pejabat Polisi Negara Republik Indonesia sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang Hukum Acara Pidana.
BAB XVIII
KETENTUAN PIDANA
Pasal 32
(1) Wajib pajak yang karena kealpaannya tidak menyampaikan SPTPD atau mengisi dengan tidak benar atau tidak lengkap atau melampirkan keterangan yang tidak benar sehingga merugikan keuangan daerah dapat dipidana dengan pidana kurungan paling lama 3 (tiga) bulan dan / atau denda paling banyak 2 (dua) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang bayar.
(2) Wajib pajak yang dengan sengaja tidak menyampaikan SPTPD atau mengisi dengan tidak benar atau tidak lengkap atau melampirkan keterangan yang tidak benar sehingga merugikan keuangan daerah, dapat dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) bulan dan / atau denda paling banyak 4 (empat) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang bayar.
(3) Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah pelanggaran.
(4) Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (2) adalah kejahatan.
Pasal 33
Tindak pidana di bidang perpajakan daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 tidak dapat dituntut setelah melampaui jangka waktu 5 (lima) tahun sejak terutangnya pajak atau berakhirnya masa pajak atau berakhirnya bagian tahun pajak atau berakhirnya tahun pajak yang bersangkutan.
BAB XIX
PEMBAGIAN HASIL DAN PEMANFAATAN PENERIMAAN PAJAK
Pasal 34
(1) Penerimaan Daerah dari Pajak Hotel dibagi dengan imbangan 80 % (delapan puluh persen) untuk Kabupaten dan 20 % untuk Pemerintahan Gampong yang bersangkutan.
(2) Pemanfaatan bagian kabupaten sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) digunakan untuk antara lain:
a. Kegiatan promosi parawisata;
b. Kegiatan pembinaan perhotelan;
c. Insentif pemungutan pajak; serta
d. Kegiatan pelaksanaan pembangunan lainnya.
(3) Pemanfaatan bagian Pemerintah Gampong diatur melalui musyawarah Gampong.
(4) Tata cara pembagian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dengan peraturan Bupati.
BAB XX
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 35
Hal-hal yang belum cukup diatur dalam Qanun ini, sepanjang mengenai teknis pelaksanaannya akan diatur lebih lanjut dengan Peraturan Bupati.
Pasal 36
Pada saat Qanun ini mulai berlaku, maka Peraturan Daerah Tingkat II Aceh Timur Nomor 5 Tahun 1998 tentang Pajak Hotel dan Restoran (Lembaran Daerah Kabupaten Aceh Timur Tahun 1998 Nomor 8 Seri A Nomor 3) dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 37
Qanun ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Qanun ini dengan penempatannya dalam Lembaran Daerah Kabupaten Aceh Timur.
Ditetapkan di Idi
pada tanggal
BUPATI ACEH TIMUR,
MUSLIM HASBALLAH
Diundangkan di Idi
pada tanggal
SEKRETARIS DAERAH KABUPATEN ACEH TIMUR,
SYAIFANNUR, SH, MM
LEMBARAN DAERAH KABUPATEN ACEH TIMUR TAHUN 2011 NOMOR ……
PENJELASAN
ATAS
QANUN KABUPATEN ACEH TIMUR
NOMOR ……………..TAHUN 2010
TENTANG
PAJAK HOTEL
I. UMUM
Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008, daerah mempunyai hak dan kewajiban untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahannya untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan dan pelayanan kepada masyarakat. Untuk itu daerah diberikan hak untuk mengenakan pungutan kepada masyarakat yang dilaksanakan berdasarkan Undang-Undang. Selama ini pungutan pajak daerah dan retribusi daerah diatur dengan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah sebagaimana telah diubah dengan Undang – Undang Nomor 34 Tahun 2000 yang memberi peluang kepada daerah untuk melakukan pungutan dalam rangka meningkatkan pendapatan daerah. Namun dalam kenyataannya pelaksanaan Undang-Undang tersebut kurang mendukung pelaksanaan otonomi daerah, dan tidak banyak harapan untuk dapat menutup kekurangan pengeluaran dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah.
Dengan telah ditetapkannya Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, daerah diberikan kewenangan di bidang pajak daerah dan retribusi daerah yang lebih besar sehingga dapat meningkatkan akuntabilitas penyelenggaraan otonomi daerah. Dalam Undang-Undang ini juga mengatur secara terperinci jenis pajak daerah dan retribusi daerah yang dapat memberi dipungut oleh daerah, untuk memberikan kepastian bagi masyarakat dan dunia usaha. Salah satu jenis pajak yang diatur dalam Undang-Undang ini adalah Pajak Hotel, yang pengaturannya di Kabupaten Aceh Timur dilaksanakan berdasarkan eraturan Daerah Tingkat II Aceh Timur Nomor 5 Tahun 1998 tentang Pajak Hotel dan Restoran (Lembaran Daerah Kabupaten Aceh Timur Tahun 1998 Nomor 8 Seri A Nomor 3). Dengan demikian Peraturan Daerah tersebut sudah tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku sehingga perlu diganti dan disesuaikan. Sehubungan dengan hal tersebut, maka perlu menetapkan Qanun Kabupaten Aceh Timur tentang Pajak Hotel.
II. PASAL DEMI PASAL.
Pasal 1
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Cukup jelas.
Pasal 3
Cukup jelas.
Pasal 4
Cukup jelas.
Pasal 5
Cukup jelas.
Pasal 6
Cukup jelas.
Pasal 7
Cukup jelas.
Pasal 8
Cukup jelas.
Pasal 9
Cukup jelas.
Pasal 10
Cukup jelas.
Pasal 11
Cukup jelas.
Pasal 12
Cukup jelas.
Pasal 13
Cukup jelas.
Pasal 14
Cukup jelas.
Pasal 15
Cukup jelas.
Pasal 16
Cukup jelas.
Pasal 17
Cukup jelas.
Pasal 18
Cukup jelas.
Pasal 19
Cukup jelas.
Pasal 20
Cukup jelas.
Pasal 21
Cukup jelas.
Pasal 22
Cukup jelas.
Pasal 23
Cukup jelas.
Pasal 24
Cukup jelas.
Pasal 25
Cukup jelas.
Pasal 26
Cukup jelas.
Pasal 27
Cukup jelas.
Pasal 28
Cukup jelas.
Pasal 29
Cukup jelas.
Pasal 30
Cukup jelas.
Pasal 31
Cukup jelas.
Pasal 32
Cukup jelas.
Pasal 33
Cukup jelas.
Pasal 34
Cukup Jelas
Pasal 35
Cukup jelas.
Pasal 36
Cukup jelas.
Pasal 37
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN DAERAH KABUPATEN ACEH TIMUR NOMOR…
Tinggalkan Balasan