Kerjasama Bangun Guna Serah, Solusi Peningkatan Pendapatan Asli Daerah

KERJASAMA BANGUN GUNA SERAH,

Solusi Peningkatan Pendapatan Asli Daerah.

 

Sebuah fenomena yang terjadi selama ini, bahwa daerah-daerah cenderung tidak mampu lagi membiayai daerahnya dari dana transfer, sementara Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang diharapkan mampu membantu menanggulangi defisit daerah tersebut relatif kurang memberikan peran yang berarti.  Ketidak mampuan tersebut terjadi akibat salah kaprahnya pengelolaan keuangan daerah serta ketidak mampuan daerah mengali sumber-sumber baru penerimaan daerah melalui PAD.

Sesuai dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah, Penerimaan PAD, terdiri dari 4 jenis kelompok besar, yaitu pajak daerah, retribusi daerah, hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan, lain-lain pendapatan asli daerah yang sah.

Ketidak mampuan mendorong peningkatan penerimaan pajak daerah dan retribusi daerah, mungkin disebabkan karena kemampuan masyarakat membayar pajak daerah dan retribusi daerah atau mungkin pula karena memang potensinya yang relatif kecil serta mungkin ketidak mampuan petugas pemungut pajak daerah dan retribusi daerah mengoptimalisasikan perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan penerimaan PAD.

Demikian pula halnya, PAD dari hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan tentunya kekayaan daerah pada badan-badan usaha milik daerah seperti PDAM dan lain sebagainya yang mungkin akibat salah urus BUMD, atau memang permodalannya terbatas dan lain sebagainya.

Dari 3 (tiga) kelompok besar jenis PAD tersebut, terkadang daerah lupa atau mungkin karena ketidak pahaman daerah dari kelompok lain-lain penerimaan PAD yang sah terutama dari upaya optimalisasi pengelolaan barang milik daerah. Salah satu resep jitu mendongkrak PAD dari pengelolaan kekayaan daerah adalah model kerjasama Bangun Guna Serah, atau yang lazim dikenal dengan singkatan BGS.

Aturan mengenai kerjasama ini dapat dilihat pada peraturan perundang-undangan mengenai kerjasama antara pemerintah dengan pihak swasta dan pihak luar negeri  atau kerjasama investasi dan lain sebagainya. Salah satu acuan yang dapat dijadikan pegangan pemerintah daerah untuk kegiatan BGS ini yaitu Peraturan Menteri Keuangan Nomor 96/PMK.06/2007 tentang Tata Cara Pelaksanaan Penggunaan, Pemanfaatan, serta Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 17 Tahun 2007 tentang Pedoman Pengelolaan Barang Milik Daerah.

Bagi daerah-daerah yang memiliki aset berupa tanah, namun tidak memiliki modal investasi maka pembangunan fasilitas untuk kegiatan ekonomi seperti pasar/ ruko dan lain sebagainya dapat diserahkan kepada pihak ketiga atau swasta dengan sistem BGS dimaksud yang tentunya akan mengatur kewajiban para pihak, terutama menyangkut tingkat kontribusi tertentu pihak ketiga tersebut kepada pemerintah daerah, yang tentunya berupa PAD.

Yang harus dipahami benar oleh daerah dalam pelaksanaan BGS tersebut, antara lain :

a. Berapa nilai asset/ kekayaan daerah yang akan dikerjasamakan serta berapa biaya investasi yang harus/ akan dikeluarkan pihak ketiga dimaksud;

b. Berapa besar kontribusi pihak ketiga tersebut harus atau semestinya diserahkan kepada pemerintah daerah. Untuk ini harus dinilai atau ditaksir tingkat kewajaran kontribusi, salah satu sandaranya bisa mengacu pada peraturan daerah yang mengatur retribusi pemakaian kekayaan daerah berupa retribusi sewa tanah kosong atau setidak-tidaknya mengacu pada Peraturan Menteri Keuangan diatas terutama pada lampiran yang mengatur mengenai sewa tanah dan bangunan. Dari peraturan daerah yang mengatur retribusi tersebut atau dari peraturan menteri keuangan dimaksud, dilakukan proyeksi untuk masa ke depan atas kemungkinan perubahan perda atau NJOP tanah dimaksud. Kenapa NJOP, karena dalam Peraturan Menteri Keuangan tersebut sewa tanah dihitung dari nilai NJOP yang berlaku. Perlu diketahui bahwa sesuai dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri diatas ditentukan maksimum jangka waktu BGS 30 Tahun, namun pelaksanaanya terserah daerah. Artinya pejabat yang menanggani BGS harus melakukan proyeksi nilai sewa atau NJOP atas objek tersebut selama 30 tahun ke depan atau setidaknya melalui asumsi pertumbuhan ekonomi yang telah terjadi selama ini di daerah yang bersangkutan;

3. Setelah dapat diproyeksikan kontribusi tersebut, disusunlah RAB pembangunan;

4. Kemudian dilanjutkan dengan pengumuman pelelangan pekerjaan BGS di media sebagaimana diatur Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/ Jasa Pemerintah. Kenapa karena prinsip-prinsip pengadaan tetap mengacu pada aturan dimaksud, meskipun seluruh biaya pengadaan barang/ jasa tersebut dibiayai atau ditanggung oleh pihak ketiga.

5. Penilaian pemenang, dapat ditentukan dari besarnya kontribusi. Disamping itu, mungkin dapat menjadi tambahan penilaian adalah seberapa besar manfaat fasilitas publik lainnya yang dibangun dalam areal kerjasama dimaksud seperti fasilitas toilet, ruang shalat dan lain sebagainya;

6. Setelah ditentukan pemenang, maka sebelum kontrak ditanda tangani, pihak ketiga dan pemerintah daerah perlu menyusun perjanjian bangun guna serah. Format kewajiban penanda tangani perjanjian BGS ini harus telah diberitahukan/ diinformasikan kepada peserta pengadaan barang/ jasa dimaksud. Yang terpenting yang harus diinformasikan tersebut bahwa setelah jangka waktu perjanjian kerjasama BGS tersebut berakhir, maka aset/ bangunan tersebut menjadi milik sepenuhnya Pemerintah daerah. Lihat Contoh PERJANJIAN BGS tersebut.

7. Setelah kontrak ditanda tangani, maka proses pengadaan barang/ jasa BGS tersebut telah selesai. Tinggal pengawasan pelaksanaannya sebagaimana yang lazim berlaku pada pengadaan barang/ jasa.

Catatan yang perlu diingat, antara lain :

a. Objek BGS berupa tanah tersebut harus dalam bentuk sertifikat Hak Pengelolaan. Dalam hal belum berbentuk hak pengelolaan, maka mutlak harus diajukan Permohonan hak pengelolaan tersebut atas hak lainnya ke Badan Pertanahan Nasional di Jakarta.-

b. Bahwa diatas Hak Pengelolaan (HPL) tersebut dapat diterbitkan sertifikat Hak Guna Bangunan (HGB), yang oleh pihak ketiga dapat dijadikan agunan ke pihak bank atau lembaga keuangan/ pembiayaan lainnya;

c. HGB tersebut dapat dialihkan kepada pihak lain oleh pihak ketiga dengan syarat pihak ketiga dimaksud telah melaksanakan kewajibannya kepada pemerintah daerah yang bersangkutan. Dalam hal kewajibannya belum selesai, maka tetap dapat dialihkan kepada pihak lain dengan persetujuan pemerintah daerah setempat (pemilik aset) dengan syarat harus dimuat ketentuan mengalihkan kewajiban pihak ketiga dimaksud kepada pihak lain atau dengan kata lain harus ada pengikatan dengan hak tanggungan;

d. Bahwa untuk objek BGS juga harus dilengkapi dengan Izin Mendirikan Bangunan (IMB) atas nama Pemerintah Daerah yang biayanya menjadi beban atau tanggung jawab pemenang lelang atau pihak ketiga dimaksud.

e. Perlu diberitahukan juga kepada pemenang atau peserta lelang atau pihak ketiga dimaksud, bahwa diatas hak pengelolaan pemerintah daerah dapat diberikan pemberian HGB atas nama pihak ketiga dimaksud dikenakan kewajiban BPHTB sesuai ketentuan serta dalam hal pihak ketiga/ pemenang lelang tersebut, maka mutlak bagi penerima hak baru dimaksud dikenakan kewajiban BPHTB juga.

Dari uraian diatas, dapat diketahui adanya penerimaan PAD, antara lain :

a. Kontribusi Pihak Ketiga/ Pemenang Lelang kepada Pemerintah Daerah, yang masuk dalam kategori penerimaan dari lain-lain PAD yang sah;

b. Retribusi Izin Mendirikan Bangunan, yang masuk dalam kategori penerimaan PAD berupa retribusi daerah;

c. Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan, yang masuk dalam kategori penerimaan PAD berupa Pajak Daerah. Bahkan dalam kasus ini terjadi penerimaan BPHTB ganda yaitu pemberian hak baru berupa HGB kepada Pihak Ketiga dan Pemecahan HGB pihak ketiga kepada Pihak lain.

d. Disamping penerimaan dimaksud secara nyata kepada pemerintah daerah, juga mendorong terjadinya pertumbuhan ekonomi secara luas. Yang akibat pertumbuhan ekonomi pada lokasi dimaksud, kembali dapat dipungut retribusi parkir atau pajak parkir yang tergantung dalam perjanjian, serta retribusi sampah/ pelayanan kebersihan dan lain sebagainya.

Contoh yang kami sampaikan disini, mungkin perlu penyempurnaan. Penyusunan perjanjian hendaknya dilakukan oleh orang/ pejabat yang memahami betul ketentuan perikatan/ perjanjian sehingga manfaat bagi pemerintah daerah khususnya dan masyarakat pada umumnya dapat dioptimalkan. Tentunya juga jangan lupa, pengusaha/ pihak ketiga/ pemenang lelang dimaksud juga dipastikan memperoleh manfaat yang memadai sehingga mendorong yang bersangkutan terus berinvestasi di daerah dimaksud. Dalam hal tertentu pemerintah daerah juga dapat memberikan fasilitas kemudahan-kemudahan regulasi baik pengurangan, keringanan pengenaan pajak daerah dan retribusi daerah, juga kemudahan perizinan serta minimalisir pungli-pungli yang dilakukan oleh aparatur pemerintah setempat.

Demikian, semoga bermanfaat. Jangan lupa komentar dan sarannya. trim’s

Diterbitkan oleh kamoenyo

34 AGE, SKIN BLACK,JOB:WORKER

5 tanggapan untuk “Kerjasama Bangun Guna Serah, Solusi Peningkatan Pendapatan Asli Daerah

  1. Dalam menentukan kontribusi apa bisa dilakukan perhitungannya dengan nilai pasar walaupun aturan menkeu sudah ada .

    1. prinsipnya memang harus mengacu pada harga pasar. Peraturan Menkeu hanya bersifat minimal. Artinya aturan Menkeu hanya normatif, kalau lebih tinggi tidak salah. Tapi kalau setelah dihitung menurut aturan menkeu dan dengan harga pasar mana yang lebih besar. Ambil nilai kontribusi yang lebih besar.

Tinggalkan komentar